PERTANIAN - Bayangkan, negeri dengan garis pantai terpanjang dan laut seluas samudera, tapi masih mengimpor garam untuk kebutuhan industri. Ibarat punya sawah sendiri tapi beli beras dari tetangga, kondisi ini menggelitik hati dan memunculkan pertanyaan, "Kok bisa?" Sudah 79 tahun Indonesia merdeka, tapi ternyata kemandirian dalam hal garam industri masih jauh dari harapan.
Mari kita bahas lebih dalam. Garam industri memang butuh standar yang berbeda dari garam konsumsi. Kadar natrium klorida harus tinggi, kualitas harus konsisten. Masalahnya, petani garam kita, yang berjuang di panas terik dan bergantung pada cuaca, masih banyak yang mengandalkan metode tradisional. Hasilnya? Kualitas garam lokal belum bisa memenuhi spesifikasi yang diinginkan industri. Kalau begitu, bagaimana kita bisa bersaing?
Baca juga:
Sukses Bertani Terintegrasi Tanpa Limbah
|
Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, harapan kita adalah ada gebrakan nyata untuk masalah ini. Bayangkan jika teknologi pengolahan garam modern bisa merata di seluruh pesisir. Para petani kita tidak perlu lagi bergantung pada terik matahari sepanjang hari; dengan evaporator bertenaga surya atau teknologi pengolahan yang canggih, kita bisa hasilkan garam berkualitas tinggi, siap pakai untuk industri.
Belum lagi soal tata kelola lahan. Alih fungsi lahan yang terus terjadi justru menyisakan lahan garam seadanya. Harapannya, ada regulasi dari pemerintah untuk melindungi area produksi garam dari godaan alih fungsi, apalagi kalau sudah menyangkut kepentingan pariwisata atau pembangunan lain. Bukan berarti kita harus menolak perkembangan, tetapi perhatikan juga keseimbangan antara industri dan keberlanjutan produksi garam.
Langkah lainnya adalah membangun kerja sama antara industri dan petani. Bayangkan, jika perusahaan-perusahaan besar bekerja bersama petani lokal, membantu mereka meningkatkan kualitas produk hingga sesuai standar industri, kita tidak hanya mengurangi ketergantungan impor, tapi juga membuka pasar baru bagi petani garam kita. Ini bukan sekadar mimpi. Dengan tekad yang kuat dari pemerintahan Prabowo, kemandirian garam bisa benar-benar kita wujudkan.
Dan, tentu saja, regulasi impor juga perlu diperketat. Pemerintah bisa saja menetapkan kuota, tarif tinggi, atau prioritas untuk garam lokal. Ini bukan hanya soal bisnis; ini tentang harga diri bangsa maritim yang seharusnya mandiri.
Lalu, apa harapan kita? Di bawah kepemimpinan Prabowo, semoga ada aksi nyata yang memperkuat kedaulatan Indonesia di sektor maritim. Kemandirian garam bukan hanya masalah ekonomi—ini adalah simbol ketahanan dan kebanggaan kita sebagai bangsa. Dengan dukungan dari pemerintah, teknologi, dan kebijakan yang berpihak pada produk lokal, kemandirian garam bukanlah angan belaka.
Jakarta, 28 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi