OPINI - Pendidikan adalah salah satu cara atau cara satu satunya yang membuat manusia menjadi benar-benar merdeka. Merdeka dalam artian sebenarnya yaitu bebas menentukan pilihan tanpa harus dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa uang, janji, hutang budi, dan intimidasi.
Kemerdekaan Indonesia sebagai suatu negara republik, dari rakyat untuk rakyat atau sebagai negara demokrasi tidak terlepas dari peran kaum terdidik yang dimulai dari gerakan Budi Utamo yang melahirkan Sumpah Pemuda 1908, yang melahirkan satu Indonesia.
Baca juga:
Tony Rosyid: Demokrat Dalam Jebakan PDIP?
|
Gerakan Reformasi 1998 yang menumbangkan pemerintahan diktator Orde Baru juga dimotori oleh kaum terdidik mulai dari para guru besar sampai gerakan mahasiswa dalam bentuk demo di jalanan dan di gedung DPR RI.
Orde Baru tumbang dengan tujuan menghapus Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) berujung pada pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden, serta kepala daerah, baik provinsi, maupun kabupaten/kota.
Orde reformasi telah melahirkan pemilu dengan biaya tinggi karena adanya pemilihan presiden dan kepala daerah dengan sistem pemilihan langsung dimana sebelumnya dipilih oleh DPR untuk Presiden, dan DPRD untuk Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Pemilihan langsung presiden dan kepala daerah berdampak pada proses pemilu dan kampanye yang harus dilakukan oleh para pasangan calon untuk mendapatkan simpati dan dukungan rakyat sebagai pemilih langsung dengan sistem "one man, one vote."
Masing-masing pasangan calon (paslon) menggunakan segala cara untuk mendapatkan simpati, baik secara primordial, maupun secara finansial. Ke dua cara ini terbukti efektif dalam mendapatkan suara dukungan, primordial mendukung karena kedekatan emosional, finansial atau Money Politics, atau politik uang memilih karena kebutuhan, dan hutang budi karena telah menerima uang dari politisi pasangan calon. Para pemilih merasa terintimidasi atau benar diintimidasi karena memang telah menerima uang dengan janji memilih.
Apakah hal ini akan terjadi pada rakyat terdidik? Tentu tidak, karena kalangan terdidik terbiasa berfikir rasional dan tidak mudah merasa terintimidasi, mungkin saja ada kedekatan primordial, atau menerima uang politik pasangan calon, tapi pilihan mereka tetap berdasarkan pada hati nurani dengan ukuran layak dan patut atau dalam bahasa politiknya "Fit and Proper."
Ukuran "Layak dan Patut" adalah menempatkan seseorang sesuai dengan kompetensi dan kepantasan dari pasangan calon berdasarkan ukuran meritokrasi, bukan berdasarkan ukuran koneksi, kolusi, apalagi nepotisme atau KKN.
Nepotisme adalah sumber dari segala kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nepotisme melahirkan kolusi dan korupsi. Nepotisme hidup dari manusia yang tidak mempunyai rasa malu. Hal ini terjadi karena pendidikan yang rendah dan dari manusia yang tidak menghargai pendidikan.
Baca juga:
100 Anak Muda Bawa Ide
|
Secara umum bisa dilihat bahwa para pelaku politik atau politisi nepot ini biasanya kurang berpendidikan, dan tidak menghargai pendidikan. Hal ini bisa dilihat bagaimana para pemimpin gagal terdahulu tidak berhasil mendidik anak-anaknya melalui pendidikan formal karena menganggap bahwa keuasaan dan keuangan yang berlimpah lebih penting dari pada pendidikan dan proses pendidikan itu sendiri.
Lebih jauh juga bisa dilihat dari kebijakan para pemimpin nepot ini terhadap pembangunan manusia melalui pendidikan formal selalu setengah hati, buktinya sampai saat ini mereka masih menganggap bahwa pendidikan adalah tanggungjawab pribadi atau keluarga, bukan tanggungjawab negara dan pemerintah, walaupun hal itu tertulis jelas dan tegas di UUD 45 bahwa tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jakarta, 24 Februari 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia
Baca juga:
Tony Rosyid: PKB Masuk Koalisi KPP?
|